welcome

Alhamdulillah ya"

Minggu, 02 Oktober 2011

MAKALAH DIARE

DIARE
A.
Beberapa pengertian diare:
1. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan berbentuk cairan atau setengah cairan, dengan demikian kandungan air pada lebih banyak dari keadaan normal yakni 100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 1999).
2. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.
3. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997).
B. ETIOLOGI
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
b. Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan:
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan ).
C. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare kerena peningkatan isi lumen usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.
D. Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
E. Penatalaksanaan
Prinsip Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.
2. Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
3. Memberikan terapi simtomatik
4. Memberikan terapi definitif.
ad.1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.
Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:
1) Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.
2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan cara/rumus:
- Mengukur BJ Plasma
Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:
BJ Plasma – 1,025
———————- x BB x 4 ml
0,001
- Metode Pierce
Berdasarkan keadaan klinis, yakni:
* diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB
* diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB
* diare ringan, kebutuhan cairan = 10% x kg BB
- Metode Daldiyono
Berdasarkan skoring keadaan klinis sebagai berikut:
* Rasa haus/muntah = 1
* BP sistolik 60-90 mmHg = 1
* BP sistolik <60 mmHg = 2
* Frekuensi nadi >120 x/mnt = 1
* Kesadaran apatis = 1
* Kesadaran somnolen, sopor atau koma = 2
* Frekuensi napas >30 x/mnt = 1
* Facies cholerica = 2
* Vox cholerica = 2
* Turgor kulit menurun = 1
* Washer women’s hand = 1
* Ekstremitas dingin = 1
* Sianosis = 2
* Usia 50-60 tahun = 1
* Usia >60 tahun = 2
Kebutuhan cairan =
Skor
——– x 10% x kgBB x 1 ltr
15
3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Larutan orali dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk mempertahankan hidrasi.
4) Jadual pemberian cairan
Jadual rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor diberikan dalam waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadual pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada kehilangan cairan selama 2 jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhir jam ke-3.
2. Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap.
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring.
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
1) Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
2) Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah.
Pemeriksaan penunjang yang telah disinggung di atas dapat diarahkan sesuai manifestasi klnis diare.
3. Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi.
4. Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1) Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2) V. parahaemolyticus,
3) E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
4) C. perfringens, spesifik
5) A. aureus : Kloramfenikol
6) Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti Siprofloksasin
7) Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol Helicobacter: Eritromisin
9) Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
10) Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
11) Balantidiasis: Tetrasiklin
12) Candidiasis: Mycostatin
13) Virus: simtomatik dan suportif
G. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian (Anak Usia 3 Tahun)
a. Keluhan Utama : Buang air berkali-kali dengan konsistensi encer
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya anak masuk Rumah Sakit dengan keluhan buang air cair berkali-kali baik disertai atau tanpa dengan muntah, tinja dpat bercampur lendir dan atau darah, keluhan lain yang mungkin didapatkan adalah napsu makan menurun, suhu badan meningkat, volume diuresis menurun dan gejala penurunan kesadaran
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Meliputi pengkajian riwayat :
1) Prenatal
Kehamilan yang keberapa, tanggal lahir, gestasi (fulterm, prematur, post matur), abortus atau lahir hidup, kesehatan selama sebelumnya/kehamilan, dan obat-obat yang dimakan serta imunisasi.
2) Natal
Lamanya proses persalinan, tempat melahirkan, obat-obatan, orang yang menolong persalinan, penyulit persalinan.
3) Post natal
Berat badan nomal 2,5 Kg – 4 Kg, Panjang Badan normal 49 -52 cm, kondisi kesehatan baik, apgar score , ada atau tidak ada kelainan kongenital.
4) Feeding
Air susu ibu atau formula, umur disapih (2 tahun), jadwal makan/jumlahnya, pengenalan makanan lunak pada usia 4-6 bulan, peubahan berat-badan, masalah-masalah feeding (vomiting, colic, diare), dan penggunaan vitamin dan mineral atau suplemen lain.
5) Penyakit sebelumnya
Penyebabnya, gejala-gejalanya, perjalanan penyakit, penyembuhan, kompliksi, insiden penyakit dalam keluarga atau masyarakat, respon emosi terhadap rawat inap sebelumnya.
6) Alergi
Apakah pernah menderita hay fever, asthma, eksim. Obat-obatan, binatang, tumbuh- tumbuhan, debu rumah
7) Obat-obat terakhir yang didapat
Nama, dosis, jadwal, lamanya, alasan pemberian.
Imunisasi
Polio, hepatitis, BCG, DPT, campak, sudah lengkap pada usia 3 tahun, reaksi yang terjadi adalah biasanya demam, pemberian serum-serum lain, gamma globulin/transfusi, pemberian tubrkulin test dan reaksinya.
9) Tumbuh Kembang
Berat waktu lahir 2, 5 Kg – 4 Kg. Berat badan bertambah 150 – 200 gr/minggu, TB bertambah 2,5 cm / bulan, kenaikan ini terjadi sampai 6 bulan. Gigi mulai tumbuh pada usia 6-7 bulan, mulai duduk sendiri pada usia 8-9 bulan, dan bisa berdiri dan berjalan pada usia 10-12 bulan.
d. Riwayat Psikososial
Anak sangat menyukai mainannya, anak sangat bergantung kepada kedua orang tuanya dan sangat histeris jika dipisahkan dengan orang tuanya. Usia 3 tahun (toddlers) sudah belajar bermain dengan teman sebaya.
e. Riwayat Spiritual
Anak sudah mengenal beberapa hal yang bersifat ritual misalnya berdoa.
f. Reaksi Hospitalisasi
1. Kecemasan akan perpisahan : kehilangan interaksi dari keluarga dan lingkungan yang dikenal, perasaan tidak aman, cemas dan sedih
2. Perubahan pola kegiatan rutin
3. Terbatasnya kemampuan untuk berkomunikasi
4. Kehilangan otonomi
5. Takut keutuhan tubuh
6. Penurunan mobilitas seperti kesempatan untuk mempelajari dunianya dan terbatasnya kesempatan untuk melaksanakan kesenangannya
g. Aktivitas Sehari-Hari
1. Kebutuhan cairan pada usia 3 tahun adalah 110-120 ml/kg/hari
2. Output cairan :
(a) IWL (Insensible Water Loss)
(1) Anak : 30 cc / Kg BB / 24 jam
(2) Suhu tubuh meningkat : 10 cc / Kg BB + 200 cc (suhu tubuh – 36,8 oC)
(b) SWL (Sensible Water Loss) adalah hilangnya cairan yang dapat diamati, misalnya berupa kencing dan faeces. Yaitu :
(1) Urine : 1 – 2 cc / Kg BB / 24 jam
(2) Faeces : 100 – 200 cc / 24 jam
3. Pada usia 3 tahun sudah diajarkan toilet training.
h. Pemeriksaan Fisik
a) Tanda-tanda vital
Suhu badan : mengalami peningkatan
Nadi : cepat dan lemah
Pernafasan : frekuensi nafas meningkat
Tekanan darah : menurun
b) Antropometri
Pemeriksaan antropometri meliputi berat badan, Tinggi badan, Lingkaran kepala, lingkar lengan, dan lingkar perut. Pada anak dengan diare mengalami penurunan berat badan.
c) Pernafasan
Biasanya pernapasan agak cepat, bentuk dada normal, dan tidak ditemukan bunyi nafas tambahan.
d) Cardiovasculer
Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan, denyut nadi cepat dan lemah.
e) Pencernaan
Ditemukan gejala mual dan muntah, mukosa bibir dan mulut kering, peristaltik usus meningkat, anoreksia, BAB lebih 3 x dengan konsistensi encer
f) Perkemihan
Volume diuresis menurun.
g)
Kelemahan fisik akibat output yang berlebihan.
h) Integumen
lecet pada sekitar anus, kulit teraba hangat, turgor kulit jelek
i) Endokrin
Tidak ditemukan adanya kelaianan.
J) Penginderaan
Mata cekung, Hidung, telinga tidak ada kelainan
k) Reproduksi
Tidak mengalami kelainan.
l) Neorologis
Dapat terjadi penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
1) Motorik Kasar
Sudah bisa naik/turun tangga tanpa dibantu, mamakai baju dengan bantuan, mulai bisa bersepeda roda tiga.
2) Motorik Halus
Menggambat lingkaran, mencuci tangan sendiri dan menggosok gigi
3) Personal Sosial
Sudah belajar bermain dengan teman sebayanya.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake terbatas (mual).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi nutrien dan peningkatan peristaltik usus.
c. Nyeri (akut) b.d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
d. Kecemasan keluarga b.d perubahan status kesehatan anaknya
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b.d pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
f. Kecemasan anak b.d perpisahan dengan orang tua, lingkungan yang baru
5. Rencana Keperawatan
Dx.1  Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui feses dan muntah serta intake terbatas (mual)
Tujuan   :    Kebutuhan cairan akan terpenuhi dengan kriteria tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Intervensi Rasional
Berikan cairan oral dan parenteral sesuai dengan program rehidrasiPantau . Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama feses.Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan kebutuhan cairan pengganti.
Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa
Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare diketahui
Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien dan peningkatan peristaltik usus.
Tujuan   :  Kebutuhan nutrisi  terpenuhi dengan kriteria terjadi peningkatan bera badan
Intervensi Rasional
Pertahankan tirah baring dan pembatasan aktivitas selama fase akut. Menurunkan kebutuhan metabolik
Pertahankan status puasa selama fase akut (sesuai program terapi) dan segera mulai pemberian makanan per oral setelah kondisi klien mengizinkan Pembatasan diet per oral mungkin ditetapkan selama fase akut untuk menurunkan peristaltik sehingga terjadi kekurangan nutrisi. Pemberian makanan sesegera mungkin penting setelah keadaan klinis klien memungkinkan.
Bantu pelaksanaan pemberian makanan sesuai dengan program diet Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral sesuai indikasi Mengistirahatkan kerja gastrointestinal dan mengatasi/mencegah kekurangan nutrisi lebih lanjut
Dx.3  : Nyeri (akut) b/d hiperperistaltik, iritasi fisura perirektal.
Tujuan :     Nyeri berkurang dengan kriteria tidak terdapat lecet pada perirektal
Intervensi Rasional
Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi. Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri
Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti masase punggung dan kompres hangat abdomen Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian kliendan meningkatkan kemampuan koping
Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan airsetelah defekasi dan berikan Melindungi kulit dari keasaman feses, mencegah iritasi
Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus GI dapat diberikan sesuai indikasi klinis
Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-5), perubahan karakteristik nyeri, petunjuk verbal dan non verbal Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya
Dx.4 : Kecemasan keluarga b/d perubahan status kesehatan anaknya.
Tujuan   :  Keluarga mengungkapkan kecemasan berkurang.
Intervensi Rasional
Dorong keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat. Membantu mengidentifikasi penyebab kecemasan dan alternatif pemecahan masalah
Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama Membantu menurunkan stres dengan mengetahui bahwa klien bukan satu-satunya orang yang mengalami masalah yang demikian
Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien. Mengurangi rangsang eksternal yang dapat memicu peningkatan kecemasan
Dx.5  : Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif.
Tujuan   :    Keluarga akan mengerti tentang penyakit dan pengobatan anaknya, serta mampu mendemonstrasikan perawatan anak di rumah.
Intervensi Rasional
Kaji kesiapan keluarga klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit dan perawatan anaknya. Efektivitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya.
Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari aktivitas sehari-hari. Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi keluarga klien dan keluarga dalam proses perawatan klien
Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek samping yang mungkin timbul Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga klien dalam pengobatan.
Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi Meningkatkan kemandirian dan kontrol keluarga klien terhadap kebutuhan perawatan diri anaknya
Dx. 6 : Kecemasan anak b.d Perpisahan dengan orang tua, lingkugan yang baru
Tujuan     :    Kecemasan anak berkurang dengan kriteria memperlihatkan tanda-tanda kenyamanan
Intervensi Rasional
Anjurkan pada keluarga untuk selalu mengunjungi klien dan berpartisipasi dalam perawatn yang dilakukan Mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan
Berikan sentuhan dan berbicara pada anak sesering mungkin Memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress
Lakukan stimulasi sensory atau terapi bermain sesuai dengan ingkat perkembangan klien Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan secara optimun
6. Implementasi
Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana tindakan yang telah direncanakan sebelumnya
7. Evaluasi
Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut tercapai. Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang, kemudian disusun rencana, kemudian dilaksanakan dalam implementasi keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam evaluasi belum teratasi maka dilakukan langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan tercapai.


DAFTAR  PUSTAKA
A.H. Markum, 1991, Buku Ajar Kesehatan Anak, jilid I, Penerbit FKUI
Ngastiyah, 997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price & Wilson 1995, Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 1, Ed.4, EGC, Jakarta
Soetjiningsih 1998, Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta
Soeparman & Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Ed. Ke-3, BP FKUI, Jakarta.
Suharyono, 1986, Diare Akut, lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
Whaley & Wong, 1995, Nursing Care of Infants and Children, fifth edition, Clarinda company, USA.

SISTEM IMUN DAN GANGGUAN IMUN

BAB I
Pendahuluan
Sistem Imun dan Gangguan Imun Merupakan semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup  yang berguna untuk :
- Pertahanan
- Homeostasis
- Pengawasan
Dalam pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme ? timbul respon imun.
Ada 2 macam RI, yaitu :
  1. RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
  2. RI non Spesifik : efektif  untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam sistem imun / respon imun :
  1. Sel B
  2. Sel T
  3. Makrofag
  4. Sel dentritik dan langerhans
  5. Sel NK
Sebagai mediator : sitokin
  1. Limfosit B
  • terdapat pada darah perifer (10 – 20%), sumsum tulang, jaringan limfoid perifer, lien, tonsil.
  • Adanya rangsangan ? sel B, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang mampu membentuk Ig : G, M, A, D, E
2.     Limfosit T
  • Terdapat pada darah perifer (60 – 70 %), parakortek kel limfe, periarterioler lien.
  • Punya reseptor : T cell receptor (TCR), untuk mengikat Ag spesifik.
  • Mengekspresikan mol CD4, CD8
3. Sel natural killer.
  • ~ sell null (non B non T) ok TCR (-), dan tak menghasilkan AB.
  • 10 – 20 % limfosit perifer.
  • Mampu membuat lisis sel tumor.
  • Mengekspresikan CD16, CD56 pada permukaan .
  • Bentuk  > besar dibanding sel B dan T, mempunyai granula azurofilik dalam     sitoplasma : large granula limphocyt.
4. Sel dentritik dan langerhans.
  • Sel dentritik   : pada jar limfoid.
  • Sel langerhans  : pada epidermis.
  • Termasuk sel APC (antigen presenting cell) / sel penyaji.
5. Sitokin.
  • Merupakan messenger molecule dalam sistem imun.
  • Regulasi RI perlu interaksi antara limfosit, monosit, sel radang, sel endotel ? perlu mediator agar terjadi kontak antar sel.
  • Co : IL 1 – 17, IFN ? – g, TNF, TGF.
4 Kategori Sitokin :
a. Mediator imunitas humoral, yang berfungsi sebagai pelindung terhadap inf. Virus (interveron), memicu RI non spesifik terhadap radang (IL -1, TNF ?, IL – 8)
b. Berhubungan dengan regulasi pertumbuhan, aktivasi dan deferensiasi limfosit (IL -2, IL -4, TGF – B)
c. Mengaktifkan sel radang (IFN g, TNF – ?, IL -5, faktor penghambat migrasi)
d. Merangsang hemopoisis (CSF, GM-CSF, IL -3, IL -7)
RESPON IMUN
Respon imun berawal sewaktu sel B atau T berikatan, seperti kuci dengan
anak gemboknya, dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel T atau B sebagai benda asing. Selama perkembangan masa janin di hasilkan ratusan ribu sel B dan sel T yang memilki potensi yang berikatan dengan protein spesifik. Protein yang dapat berikatan dengan sel T dan B mencakup protein yang terdapat di membran sel bakteri,
mikoplasma, selubung virus, atau serbuk bunga, debu, atau makanan tertentu. Setiap
sel dari seseotang memilki proitein-protein permukaan yang dikenali berbagai benda
asing oleh sel T atau B milik orang lain. Protein yang dapat berikatan dengan sel; atau
B di sebut deengan antigen, apabila suatu antigen menyebabkan sel T atau B
menjadi aktif bermultiplikasi dan berdeferensiaasi lebih lanjut, maka antigen tersebut
dapat bersifat imunogenik.
ANTIGEN Banyak benda asing jika dimasukkan ke dalam tubuh hospes berkali-kali,
respon yang ditimbulkan selalu sama. Namun, ada benda asing tertentu yang mampu
menimbulkan perubahan pada hospes sedemikian rupa sehingga reaksi selanjutnya
berbeda daripada reaksi sewaktu pertama kali masuknya benda asing tersebut. Respon
yang berubah semacam itu dipihak hospes disebut sebgai respon imunologis dan
benda-benda asing yang menyebabkan reaksi tersebut dinamakan antigen atau
imunogen. Tujuan utama respon imun adalah menetralkan , menghancurkan atau
mengeluarkan benda asing tersebut lebih cepat dari biasanya.
SIFAT KHAS RESPON IMUN
Tujuan respon imun
Untuk melenyapkan benda yang bersifat antigenik dengan cepat, hal ini
dilakukan oleh tubuh melalui dua macam cara:
1.   Respon imun humoral, dipengaruhi oleh imunoglobulin, gammaglobulin dalam
darah, yang disintesis oleh hospes sebagai respon terhadap masuknya benda antigenik.
2.  Reaksi imunologis kedua, respon imun selular, dilakukan secara langsung oleh
limfasit yang berproliferasi akibat amsuknya antigen tersebut. Sel-sel ini bereaksi
secara spesifik antigen (tanpa intervensi dari imunoglobulin).
JARINGAN IMUNOREAKTIF
Bagian respon imun yang mengakibatkan pembentukan antibodi
imunoglobulin atau proliferasi sel-sel reakstif antigen kadang-kadang disebut sebagai
fase aferen atau fase induksi dari respon imun. Limfosit dan makrofag adalah sel-sel
yang terutama bertanggung jawab atas bagian respon ini. Lebih khusus, apa yang
dinamakan jaringan limfosit tubular yang terlihat. Sekali antibodi sudah disintesis atas
sel-sel reaktifan/antigen sudah berproliferasi, maka mereka akan tersebar secara luas
sembarang tempatdapat terjadi reaksi imunologis yang efisien.
IMUNODEFISIENSI
Respon imun berkurang / – ? tidak mampu melawan infeksi secara adekuat.
Ada 2 bentuk :
1.   Primer
- herediter
- gejala : 6 bulan – 2 tahun
3.   Sekunder
- perubahan Fs. Imunologik : inf, malnutrisi, penuaan,  imunosupresi, kemoterapi dll.
IMUNOPATOLOGI
Kegagalan dari sistem imun :
  1. Rx hipersensitivitas : respon imun berlebihan.
  2. Imunodefisiensi  : respon imun berkurang
  3. Autoimun  : hilangnya toleransi diri : rx sistem    imun terhadap Ag jar sendiri
  1. Tujuan
Tujuan Umum
  1. Mendapatkan gambaran mengenai proses terbentuknya imun, reaksi imun
  2. dalam tubuh serta asuhan keperawatan bagi oarang dengan gangguan imun.
  3. Tujuan Khusus
  4. Mampu melakukan pengkajian dengan  gangguan imum
  5. Mampu menentukan masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan imun.
  6. Mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan imun
    1. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penulisan makalah ini, meliputi Asuhan keperawatan
pada Tn. ”W” dengan HIV-AIDS, Ny. ”E” dengan SLE, dan Ny. ”L” dengan Alergi.
  1. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriftif, yaitu
pengumpulan data dan menarik kesimpulan yang kemudian disajikan dalam bentuk naratif.
Adapun teknik penulisan makala ini adalah :
  1. Studi Literatur
Yaitu pengumpulan bahan bacaan dari sumber-sumber yang berhubungan dengan kasus-kasus diberikan.
  1. Studi kasus
yaitu diberikan kasus oleh pengajar kemudian mempelajari kasus yang diberikan dan membuat asuhan keperawatan pada masing-masing kasus berdasarkan berbagai sumber yang didapat.
  1. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penyusunan makalah ini, meliputi bab, yaitu :
BAB I                PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II               TINJAUAN TEORI
Meliputi patofisiologi (etiologi, manifestasi klinis, dan komplikasi penyakit) TINJAUAN KASUS
Meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
BAB III             PENUTUP
Meliputi Kesimpulan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS dan TINJAUAN KASUS
KASUS I
Tn W dirawat di ruang Medikal Bedah karena diare sudah sebulan tak sembuh-sembuh meskipun sudah berobat kedokter. Pekerjaan Tn W supir truk dan dia baru saja menikah 2 tahun yang lalu. Tn W mengatakan bahwa dia diare cair kurang lebih 15 x/hari dan BB menurun 7 kg dalam sebulan serta sariawan mulut tak kunjung sembuh meskipun telah berobat sehingga tak nafsu makan. Hasil foto thorax ditemukan pleural eseffusion kanan, hasil laboratorium berikut: Hb 11 gr/Dl, leukosit 20.000/Ul, trombosit 160.000/Ul, LED 30 mm, Na 98 mmol/L, K 2,8 mmol/ L, Cl 110 mmol/L, proteitn 3,5. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan TD 120/80 mmH, N 120 x/menit, P 28 x/menit, S 39 oC,konjungtiva anemis, sclera tak iterik, paru-paru: ronchi +/+ dan wheezing +/-, turgor kulit jelek.
Diagnosa Medis
HIV-AIDS
A.     Pengertian
AIDS
Ditandai :
-        Supresi imunitas (sel T)
-        Inf oportunistik.
-        Keganasan sekunder.
-        Kelainan neurologik
Cara penularan :
-        Kontak seksual
-        Parenteral
-        Dari ibu yang terinfeksi pada janin
B.     Patofisiologi
1.      Etiologi
HIV-AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus yaitu
retrovirus. Seseorang yang terinfeksi virus ini tidak langsung terdeteksi karena sistem imun bereaksi membentuk antibodi dalam 3-12 minggu setelah infeksi atau bisa 6-12 bulan.
2.      Proses Penyakit
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
Klasifikasi
  1. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C
  1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
  2. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )
  3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
  1. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
  1. Angiomatosis Baksilaris
  2. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi
  3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
  4. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
  5. Leukoplakial yang berambut
  6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
  7. Idiopatik Trombositopenik Purpura
  8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
  1. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
  1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
  2. Kanker serviks inpasif
  3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
  4. Kriptokokosis ekstrapulmoner
  5. Kriptosporidosis internal kronis
  6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
  7. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
  8. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
  9. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
  10. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
  11. Isoproasis intestinal yang kronis
  12. Sarkoma Kaposi
  13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
  14. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
  15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
  16. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
  17. Pneumonia Pneumocystic Cranii
  18. Pneumonia Rekuren
  19. Leukoenselophaty multifokal progresiva
  20. Septikemia salmonella yang rekuren
  21. Toksoplamosis otak
  22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
3.      Gejala dan tanda
Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu.
Pada fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Pada fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) acut Gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti
  • demam berkeringat,
  • lesu mengantuk,
  • nyeri sendi,
  • sakit kepala,
  • diare,
  • sakit leher,
  • radang kelenjar getah bening,
  • dan bercak merah ditubuh.
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) asimptomatik diketahui oleh :
  • Pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.
  • Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.
4.      Komplikasi
a. Oral Lesi
Penyebab
Kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
  • Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
  • Enselofati akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
  • Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
  • Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
  • Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
  • Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
  • Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar, infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
  • Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
  • Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
  1. C. Penatalaksanaan Medis
1.         Tes Diagnostik
1)      Tes Enzim – Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tujuan : mengidentifikasi spesifik untuk HIV, dimana tes ini tidak menegakkan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukan seseorang terinfeksi atau pernah terinfeks, orang yang didalam darahnya mengandung antibody HIVdisebut seropositif
2)      Westeren Blot Assay
Tujuan : mengenali antibody HIV dan memastikan seropositif HIV
3)      Indirect Immunoflouresence
4)      Radio Immuno Presipitation Assay (RIPA)
Tujuan : mendeteksi protein dari antibody
5)      Pelacakan HIV
Tujuan : mengetahui perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut adalah protein virus P24, emeriksaan P24 antigen capture assay spesifik untuk HIV sehingga kadar P24 menurun.
2.         Terapi
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
  1. Pencegahan
Abstinensi seks
Pencegahan                     Periksa adanya virus maks. 6 bulan setelah hubungan
terpajannya                     Seks terakhir
HIV                                Gunakan pelindung jika berhubungan seks
Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato
Cegah infeksi ke janin/BBL
Tujuan Penatalaksanaan  HIV :
menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi oportunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
  1. Terapi-terapi farmakologis pada HIV-AIDS dan terapi non-farmakologis
Terapi Farmakologis :
1)      Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
2)      Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
–        Didanosine
–        Ribavirin
–        Diedoxycytidine
–        Recombinant CD 4 dapat larut
–        Stavudin
–        Zidovudin
3)      Inhibitor protease
Obat-obat yang menghambat kerja enzim protease (enzim yang dibutuhkan untuk replikase virus HIV dan produksi virion yang menular).
4)      Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
Terapi non-farmakologis :
1)      Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan
2)      Sehat,hindari stress, gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
3)      Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
  1. D. Asuhan Keperawatan
I.       Pengkajian
Data Subjektif
  1. diare cair ± 15x/hari
  2. BB menurun 7 kg dalam sebulan
  3. sariawan mulut tak kunjung sembuh
  4. tidak nafsu makan
Data Objektif
Hasil pemeriksaan fisik :
-                    N 120x/menit
-                    P 28x/menit
-                    S 390C
-                    turgor kulit jelek
Hasil Lab :
-                    Hb 11 gr/dL
-                    Leukosit 20000/Ul
-                    LED 30 mm
-                    Na 98 mmol/L
-                    K 2,8 mmol/L
-                    Cl 110 mmol/L
-                    Protein 3,5
Hasil foto thorax :
ditemukan pleural eseffusion kanan,
Analisa Data
Data Masalah keperawatan
Data Subjektif
  • Diare cair ± 15x/hari
  • BB menurun 7 kg dalam sebulan
  • tidak nafsu makan
  • sariawan mulut tak kunjung sembuh
  • Hb 11gr/dL
Data Objektif Hasil pemeriksaan fisik :
  • N 120x/menit
  • P 28x/menit
  • S 390C
  • turgor kulit jelek
Hasil Lab :
  • Na 98 mmol/L
  • K 2,8 mmol/L
  • Protein 3,5
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
Data Subjektif : – Data Objektif : Hasil pemeriksaan fisik
  • Nadi 120 x/ menit
  • P 28x/menit
Hasil foto thorax :
  • ditemukan pleural eseffusion kanan
2.  Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
II.     Diagnosa Keperawatan
  1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat
  2. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
KASUS 2
Ny E (37 tahun) mengeluh muka tampak bintik-bintik merah, jika terkena sinar matahari kulit mudah kemerahan, sariawan dan nyeri pada kedua lutut. Hasi pemeriksaan fisik TD 150/100 mmHg, S=38 oC, N = 120 x/menit ireguler, P= 28 x/menit, BB 35 kg konjungtiva anemis, splenomegali, kedua lutut tampak bengkang dan merah. Laboratorium: Hb10 gr/dl, leukosit 5000 rb/ul, trombosit 80.000 /dl.
Diagnosa  Medis
Systemic Lupus Eritematosius (SLE)
A.     Pengerian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh atau peradangan kronis dari jaringan-jaringan tubuh yang disebabkan oleh penyakit autoimun. Penyakit-penyakit autoimun adalah penyakit-penyakit yang terjadi ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistim imunnya sendiri.
B.     Patofisiologi
1.      Etiologi
Penyebab  lupus masih belum diketahui. Gen-gen yang diwariskan, viris-virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan mungkin semuanya memainkan peran yang sama. Faktor-faktor genetik meningkatkan kecenderungan penyakit-penyakit autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis, dan kelainan-kelainan imun tiroid. Beberapa ilmuwan-ilmuwan percaya bahwa sistim imun pada lupus lebih mudah distimulasi oleh faktor-faktor eksternal seperti virus-virus atau sinar ultraviolet. Kadangkala, gejala-gejala lupus dapat dipercepat atau diperburuk oleh hanya suatu periode yang singkat dari ekspose pada matahari.
Menurut penelirian beberapa ahli, diketahui bahwa beberapa wanita dengan SLE dapat mengalami perburukkan dari gejala-gejalanya sebelum periode-periode haidnya. Peristiwa-peristiwa ini, bersama dengan dominasi SLE pada wanita, bahwa hormon-hormon wanita memainkan suatu peran penting pada SLE.
Kegagalan enzim untuk membuang sel-sel yang mati dapat berkontribusi pada pengembangan SLE. Enzim DNase1, umumnya mengeliminasi apa yang disebut “sampah DNA” (“garbage DNA”) dan puing-puing sel-sel lainnya dengan membentuknya menjadi fragmen-framen kecil untuk memudahkan eliminasi.
Obat-obatan telah dilaporkan memicu SLE; bagaimanapun, lebih dari 90% dari lupus yang disebabkan oleh obat terjadi sebagai suatu efek sampingan dari satu dari enam obat-obat berikut: hydralazine (digunakan untuk tekanan darah tinggi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk aritmia/iram jantung abnormal), phenytoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid [(Nydrazid, Laniazid), digunakan untuk TBC/tuberculosis], d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthritis). Obat-obat ini diketahui menstimulasi sistim imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang disebabkan oleh obat jarang terjadi (jumlahnya lebih kecil dari 5% dari SLE diantara semua pasien-pasien dengan SLE) dan umumnya hilang ketika obat-obatnya dihentikan.
2.      Proses Penyakit
Seseorang dengan lupus memproduksi antibodi-antibodi yang abnormal didalam darahnya yang mentargetkan jaringan-jaringan didalam tubuhnya sendiri dari agen-agen asing. Karena antibodi-antibodi dan sel-sel inflamasi dapat melibatkan jaringan-jaringan dimana saja didalam tubuh, lupus mempunyai potensi untuk mempengaruhi beragam area tubuh. Kadang lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru-paru, ginjal, persendian-persendian, dan/atau sistim syaraf. Kalau hanya kulit yang terlibat, kondisi ini disebut lupus diskoid (discoid lupus). Kalau organ-organ internal yang terlibat, kondisi ini disebut lupus sistemik eritematosus (systemic lupus erythematosus, SLE).
Kedua-duanya lupus diskoid dan lupus sistemik adalah lebih umum pada wanita dari pada pria (kira-kira delapan kali lebih umum). Penyakit dapat mempengaruhi semua umur namun paling umum mulai dari umur 20 hingga umur 45. Lebih sering pada orang-orang Amerika keturunan Afrika dan orang-orang keturunan China dan Jepang.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
3.     Manifestasi klinis
  1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2.   Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. 3.   Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4.   Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5.   Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6.   Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7.   Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
4.      Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisik/ psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.
C.     Penatalaksanaan Medis
1.      Tes Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
1. hematologi
ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
2. kelainan imunologis
ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu).
Pemeriksaan khusus
1. Biopsi ginjal
2. Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada
dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada      kulit yang tidak terkena (70%).
Evaluasi Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
2.      Terapi
1.Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
2.Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.
3.Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan  mengurangi secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.
4.Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
5.Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.
6.Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.
D.     Asuhan Keperawatan
1.   Pengkajian
Data subjektif
  • Mengeluh muka tampak bintik-bintik merah
  • Jika terkena matahari kulit mudah kemerahan
  • Sariawan
  • Nyeri pada kedua lutut.
Data Objektif
Hasil pemeriksaan Fisik
  • TD 150/100 mmHg
  • S = 38 oC
  • N = 120 x/menit ireguler
  • P= 28 x/menit
  • BB 35 kg
  • konjungtiva anemis
  • splenomegali
  • kedua lutut tampak bengkang dan merah
Hasil Lab
  • Hb10 gr/dl
  • leukosit 5000 rb/ul
  • trombosit 80.000 /dl.
Analisa Data
Data Masalah keperawatan
Data subjektif :
  • muka tampak bintik-bintik merah
  • jika terkena matahari kulit mudah kemerahan
  • sariawan
Data Objektif:
  • trombosit 80.000 /dl.
Gangguan  integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Data subjektif :
  • Nyeri pada kedua lutut.
Data Objektif Hasil Pemeriksaan Fisik
  • S=38 oC
  • splenomegali
  • kedua lutut tampak bengkang dan merah
Nyeri berhubungan dengan inflamasi
II.     Diagnosa Keperawatan
  1. Gangguan  integritas kulit b.d perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
  2. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
KASUS 3
Ny. L mengeluh tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut seluruh tubuh sudah menggunakan minyak tawon tidak menolang. Hasil pemeriksaan fisik tampak bengkak kelopak mata, telinga dan seluruh bagian tubuh merah, tekanan darah, pernafasan, suhu dan nadi normal, bunyi paru vaskuler, jantung normal.
Diagnosa Medis
Alergi, Hipersensitivitas Tipe 1 (anafilaksis)
A.     Pengertian
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) setelah terjadi interaksi antara alergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi.5 Individu yang menunjukkan kecenderungan untuk reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut individu atopik dan biasanya menunjukkan reaksi alergi setelah terpapar pada antigen lingkungan. |
B.     Patofisiologi
1.      Etiologi
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang tidak bisa di golongkan:
Allergen penyebab Anafilaksis
Makanan Krustasea: Lobster, udang dan kepiting Moluska  : kerang, Ikan Kacang-kacangan dan biji-bijian Buah beri Putih telur Susu
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin Enzim    : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah Toxoid   : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran Antibiotika Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphotericin B, Nitrofurantoin. Agent diagnostik-kontras Vitamin B1, Asam folat Agent anestesi: Lidocain, Procain, Lain-lain: Barbiturat,  Diazepam, Phenitoin,  Protamine,  Aminopyrine, Acetil  cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp).
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
2.      Proses Penyakit
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
  1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
  1. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang .
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3.  Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu.
Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.
TIPE REAKSI HYPERSENSITIVITAS
REAKSI TIPE I / ANAFILAKTIK Pada reaksi tipe (anafilaktik), subjek harus disensitisasi lebih dahulu oleh antigen tertentu. Selama respon fase induktif dibentuk antibodi IgE. Antibodi ini bersirkulasi dan melekat pada permukaan sel mast yang terbesar diseluruh tubuh. Jika antigen kemudian dimasukkan ke dalam subjek, maka interaksi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast mengakibatkan pelepasan eksplosif dari zat-zat yang terkandung di dalam sel. Jika antigen yang dimasukkan itu sedikit dan bersifat lokal, maka pelepasan mediatornya juga bersifat lokal dan hasilnya tidak lebih dari daerah vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas yang mengakibatkan Pembengkakan lokal.
REAKSI TIPE II / SITOTOKSIK Reaksi tipe II pada dasarnya merupakan sitotoksik. Pada reaksi macam ini antibodi IgD dan IgM yang bersirkulasi bersatu dengan antigen yang cocok pada permukaan sel. (Yaitu, antigen yang melekat pada atau merupakan bagian dari permukaan sel). Hasil dari interaksi ini adalah percepatan fagositosis sel target atau lisis sebenarnya dari sel target setelah pengaktifan konponen ke depalapn atau ke sembilan rangkaian komplemen. Jika sel target adalah sel asing seperti bakteri makan hasil reaksi ini menguntungkan. Namun, kadang-kadang sel target itu adalah eritrosit-eritrosit dari tubuh, dalam hal ini akibatnya dapat berupa anemia hemolitik.
REAKSI TIPE III / KOMPLEKS IMUN Reaksi tipe III mempunyai berbagai bentuk, tetapi pada akhirnya reaksi-reaksi tersbut sama-sama diperantarai oleh kompleks imun, yaitu kompleks antigen dengan antibodi, biasanya dari jenis IgD. Prototipe dari reaksi jenis ini adalah reaksi arthus. Secara klasik, jenis reaksi ini ditimbulkan dengan cara mensensitisasi subjek dengan beberapa protein asing dan selanjutnya seubjek tersebut diberi suntikan antigen yang sama secara intrakutan. Reaksi itu secara khas timbul sesudah beberapa jam, dengan melalui fase pembengkakan dan kemerahan kemudian nekrotik serta pada kasus yang berat terjadi perdarahan.
REAKSI TIPE IV / DIPERANTARAI SEL Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontaknya limfosit T yang telah mengalami sensitisasi dengan antigen yang sesuai. Kejadian ini dapat terlihat pada berbagai keadaan. Tuberkulosis merupakan contoh klasik. Menyertai reaksi ini, biasanya akan terdapat nekrosis luas pada jaringan yang merupakan tanda yang cukup khas untuk penyakit ini. Nekrosis semacam ini sekarang diakui sebagai akibat kekebalan yang diperantarai sel, bukan langsung disebabkan oleh racun dari basil tuberkulosis. Tampaknya nekrosis ini adalah akibat dari limfositotoksisitas (yaitu pengaruh dari limfosit yang diaktifkan oleh tuberkuloprotein basil). Reaksi tipe IV juga diperlihatkan oleh dermatitis kontak alergi yang dapat ditimbulkan secara percobaan maupun secara spontan pada manusia.
3.      Manifestasi Klinis
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh.
Gejala permulaan :
Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas
Sistem Organ Gejala
Kulit Eritema, urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis
Respirasi Bronkospasme,  rhinitis,  edema  paru  dan  batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema epiglotis, stridor, serak, suara hilang,           wheezing, dan obstruksi komplit.
Kardiovaskuler Hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope,  aritmia dan   hipoksia
Gastrintestinal Mual, muntah, cramp perut,  diare,  disfagia, inkontinensia urin
SSP Parestesia, konvulsi dan kom
Sendi Arthralgia
Haematologi Kelainan pembekuan darah, trombositopenia, DIC
4.      Komplikasi

· Eritroderma etivoliativa sekunder

· Abses limfedenofatik

· Furunkulosis

· Hepatomegali

· Konjungtivitis

· Rinitis

· Stomatitis

· Kolitis Bronkolitis

C.     Penatalaksanaan Medis
1.
Pengkajian Lanjut
  1. Mengkaji riwayat alergi terhadap suatu substansi tertentu seperti makanan, obat, cuaca, gigitan serangga, atau alergen yang lainnya.
  2. Mengkaji riwayat alergi pada keluarga
  3. Mengkaji tingkat emosinal dan stres pasien
Pemeriksaan Lanjutan
  1. Uji gores alergi yang positif Anafilaksis
  2. Bicom Resonance Therapy (BRT).
Cara BRT untuk mendeteksi alergi adalah menggunakan gelombang elektromagnetik. Jika pasien memiliki alergi terhadap suatu zat / substansi tertentu, tubuh pasien mengirimkan gelombang patologis (buruk/tidak normal dari alergi yang diderita).
  1. Pemeriksaan fisik diagnostik
Keadaan umum   baik sampai buruk
Kesadaran               :         Composmentis sampai Koma
Tensi                        :         Hipotensi
Nadi                        :         Tachycardi
Nafas                       :         Tachypneu
Temperatur              :         naik/normal/dingin
Kepala dan leher     :         Cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi,
edema periorbita, perioral, rhinitis
Thorax                    :          Cor  Palpitasi, aritmia sampai arrest
Pulmo Bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing
Abdomen                :         Nyeri tekan, BU meningkat
Ekstremitas             :         Urticaria, Edema ekstremitas
Pemeriksaan Tambahan
Hematologi             :         Hitung  sel  meningkat ,  Hemokonsentrasi,
trombositopenia eosinophilia naik/ normal / turun
X foto                     :         Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena
mukus  plug
EKG                        :         Gangguan konduksi, atrial dan ventrikel
disritmia,
Kimia                      :         Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase
meningkat.
2.      Terapi

Pencegahan

Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat

alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan

kortikosteroid, antihistamin atau epinefrin.

Pengobatan Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera. Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan).                         Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka

saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok,

diberikan cairan melalui infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan

peredaran darah.

Antihistamin (contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya

prednison) diberikan untuk meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan

penyelamatan dan pemberian epinephrine).

Imunoterapi

Indikasi hanya jika hipersensitivitas IgE (hipersensitivitas tipe I) terlihat pada alergen inhalan yang spesifik yang tidak dapat dihindari oleh pasien (debu rumah, serbuk sari).

D.     Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Data subjektif
  1. Klien mengeluh tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit    semut
Data objektif
Hasil Pemeriksaan Fisik
  1. kelopak mata bengkak, telinga dan seluruh bagian tubuh merah
  2. tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi normal
  3. bunyi paru vaskuler
  4. jantung normal
Analisa Data
Data Maslah Keperawatan
Data Subjektif tiba-tiba terbangun di malam hari gatal-gatal seperti di gigit semut Data Objektif Tampak bengkak kelopak mata Gangguan rasa nyaman (gatal-gatal) b.d alergi
Data Subjektif : – Data Objektif : telinga dan seluruh bagian tubuh merah Risti gangguan integritas kulit b.d inflamasi
II.     Diagnosa Keperawatan
  1. Gangguan rasa nyaman (gatal-gatal) b.d alergi
  2. Risti gangguan integritas kulit b.d inflamasi
BAB III
PENUTUP
Setelah menguraikan mengenai berbagai kasus imun mulai dari patofisiologi (etiologi, proes penyalit, manifestasi klinis, dan komplikasi), serta asuhan keperawatannya, maka dalam bab ini, penulis menarik kesimpulan :